Senin, 15 Juni 2009

Amer Ali, Membuka Pemikiran Muslim

Kompas Sabtu, 16 Agustus 2008 Hal.16
Amer Ali, Membuka Pemikiran Muslim

“Tidak ada fobia Islam, yang ada fobia Muslim, melihat tingkah laku muslim yang kerap emosional dan terlalu sensitive menanggapi masalah apa pun akibat pemikiran yang tertutup.” Pernyataan ini dilontarkan intelektual Islam moderat. Amer Ali, yang ditemui di sela International Conference of Islamic Scholars atau ICIS, 29 Juli – 1 Agustus 2008, di Jakarta.

Di era moderen semestinya rasionalitas dan pemikiran kritis dikedepankan sehingga tidak ada lagi bentuk kekerasan apa pun yang terjadi akibat emosi tanpa dasar.
Pesan Ali menurut umat Muslim ini muncul dari kepribadiannya melihat banyak orang yang mulai berpaling dari Islam. Padahal, kata Ali, Allah SWT sama sekali tak membebankan kesulitan apapun terhadap umat-Nya dalam menjalankan agama Islam.
Ini ditegaskan dalam Al Qur-an Surah Al-Hajj Ayat 78: Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama yang membuat kamu dalam kesempitan (wa jaahidu fil-laahi haqqa jihaadih. Huwajtabaakum wa maaja’ala a’alikum fiddini min harajin)
“Allah membuat Islam mudah dipahami dan diikuti. Tetapi, kenapa sebagian ulama justru membuatnya jadi sulit? Akibatnya, banyak yang menjauh dari Islam karena dirasa sulit menjadi Muslim,” kata Ali, Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasfik (RISEAP) di Australia itu.
Berbagai bentuk kekerasan, terutama di Negara Muslim, seakan menjadi Trademark Islam bagi negara Barat. Akibatnya, gambaran tentang Islam dan Muslim menjadi serba menakutkan. Padahal, yang berada di balik segala bentuk kekerasan hanya segelintir Muslim yang berpandangan ekstrim.
Untuk memperbaiki citra Islam dan Muslim, Ali memberi ceramah dan dakwah mengenai Islam dan Dakwah mengenai Islam dan Muslim kepada siapa pun, termasuk umat Nasrani di gereja-gereja di Australia. Pertanyaan yang sering muncul, antara lain, arti jihad dan kondisi perempuan.
Karena memiliki pandangan moderat, Ali yang pernah menjadi Presiden Dewan Islam Federasi Australia itu lantas ditunjuk menjadi Ketua Kelompok Referensi Komunitas Muslim pada era pemerintahan Perdana Menteri Jhon Howard.
Ia lantas menjadi duta Australia ke berbagai dialog antaragama Internasional untuk membuka mata dan pikiran Muslim, serta berusaha menyadarkan kembali pentingnya rasionalitas dalam memahami Islam dan menginterpretasikan Al Qur-an.
Menginterpretasikan kembali Al Quran sesuai dengan konteks dan zamannya, menurut Ali, menjadi kunci penting untuk membuka pikiran Muslim agar lebih kritis.
Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan Al Quran sesuai Konteks dan waktunya hanya akan membuahkan fanatisme, pandangan ekstrimis, dan emosional tanpa logika. Padahal Al Quran sebenarnya ada untuk memancing pemikiran kritis yang tidak asal menerima mentah-mentah kata-kata yang ada di dalamnya.
Ali mengingatkan, ayat-ayat Al Quran diturunkan pada zaman Muhammad SAW sehingga isinya pun menyesuaikan dengan zaman itu. “Kalau tidak tahu konteksnya, kita tidak tahu maksudnya. Kita harus tahu mengkritisi dan mengisterpretasi lebih lanjut isi Al Quran. Ini indahnya Al Quran,” ujar ayah dari dua anak itu.

Pengetahuan Modern

Persoalannya, justru sebagian ulama tradisional juga yang menutup pikiran muslim, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan pemikiran atau ajaran tradisional konvensional yang sudah ketinggalan zaman.
Banyak ulama tradisional tidak mendalami pengetahuan modern dan terpaku pada ajaran yang sama selama berabad-abad. Padahal, jika ditilik dari artinya, ulama semestinya seseoarang yang memiliki pengetahuan luas dan tidak hanya terbatas pada pengetahuan agama.
Jika seseorang ingin memahami Al Quran dengan baik dan lengkap sekaligus obyektif, dia harus mempunya bekal latar belakang pemahaman ilmu sejarah, ekonomi , sosiologi dan Politik.
Tren intelektual Islam yang sarat bekal ilmu pengetahuan lengkap dan modern seperti itu, kata Ali, justru lebih banyak muncul di negara-negara Barat.
Meskipun demikian menurut pandangan Ali, Hal ini wajar mengingat banyak intelektual Islam yang terpaksa migrasi ke barat. Di tempat ini mereka justru mendapat kesempatan luas untuk berpikir, berekspresi, dan mengeluarkan pendapat.
Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan kebangkitan generasi baru Muslim kemungkinan akan dimulai dari Barat. “ Kalau kita tidak mempunyai latar belakang pengetahuan yang lengkap akan sangat sulit memahami Al Quran dan memecahkan misteri Allah yang ada di dalamnya,” kata Ali.
Misteri Allah yang ada di dalam Al Quran dimaksudkan untuk dibuka, dipecahkan, dipelajari, dan dikritisi. Al Quran adalah kitab untuk siapapun pada segala zaman. Kitab yang bisa digunakan untuk menjelaskan berbagai macam hal apabila diinterpretasikan sesuai konteks dan zamannya.

Pendidikan

Masalahnya, Al Quran sering kali justru terlalu dipuja,tetapi isinya tidak dipahami. Ali menilai persoalan persoalan umat Muslim ada pada pendidikan.
Minimnya pendidikan dan masih tingginya tingkat buta huruf di dinia Muslim, ditambah indoktrinisasi selama berabad-abad oleh kelompok ortodoks, telah melumpuhkan kemampuan rasionalisasi. Karena itu, perlu ada pendidikan modern untuk mengembangkan daya pikir kritis agar bisa menganalisis dan menghasilkan solusi praktis.
“Ini tidak ada pada sebagian ulama tradisional,” kata Ali
Dia kawatir ulama tradisional justru akan memicu gerakan ekstremisme yang muncul akibat pikiran yang tertutup, khotbah-khotbah di masjid, kata Ali bisa berakibat buruk apabila ditelan mentah-mentah oleh muslim yang pikirannya tertutup.
Seharusnya khotbah-khotbah membahas isu-isu yang tengah hangat dan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Imam juga diharapkan memberi semacam panduan bagi muslim.
“saya yakin, sebagian ulama itu tidak dengan sengaja membentuk pemikiran ekstrem, Tetapi, isi kotbahnya yang sering kali memancing orang ke arah itu. Yang lebih parah, kita tidak boleh membantah atau mengkritisi khotbah. Kita harus bisa menjaga anak-anak muda agar tidak menelan ide yang keliru dan terjerumus dalam kekerasan,” kata Ali yang dikenal sebagai pakar ekonomi dan pembangunan di negara-negara Muslim.
Cara paling efektif untuk mengantisipasi hal itu adalah lewat pendidikan. Untuk medukung pendidikan perlu suasana demokratis sehingga masyarakat bisa diberdayakan. Padahal, mayoritas negara muslim belum mempraktekan demokrasi.
“Ini tantangan kita. Allah tidak merubah nasib suatu bangsa kecuali kita mengubah diri sendiri. Caranya dengan memberdayakan generasi muda dan wanita. Kita sudah tau kelemahan kita dan akar masalanya. Jangan salahkan orang lain, tetapi salahkan diri sendiri. Kita harus menjadi agen perubahan. Tetapi harus ubah diri sendiri dulu,” kata Ali yang migrasi ke Australia pada 1977 karena alasan Politik.